Usul Untuk Pemilik Gergaji Mesin, Dedi Mulyadi: Harus Berizin Seperti Senpi

JABARNEWS | BANDUNG – Wakil Ketua Komisi IV DPR bidang pertanian, peternakan dan lingkungan, Dedi Mulyadi mengusulkan agar pemegang gergaji mesin (chainsaw) harus memiliki surat izin dari walikota atau bupati.

Kepemilikan mesin penebang pohon seperti gergaji mesin itu harus terdaftar di pemerintah daerah setempat.

“Pemilik chainsaw bisa siapa saja harus berizin. Kalau orang punya chainsaw berizin sehingga setiap orang nanti akan hati-hati. Saat menebang pohon harus punya izin dari kepala desa,” katanya kepada via sambungan telepon, Kamis (4/2/2021).

Menurut Dedi, kepemilikan gergaji mesin harus terdaftar sama dengan penguasaan senjata api. Sebab, gergaji mesin ini memiliki daya rusak tinggi, terutama untuk lingkungan.

Baca Juga:  Persit Purwakarta Dukung Netralitas TNI Dalam Pemilu

“Sehingga harus mendapat izin kepemilikan dari wali kota/bupati sehingga terdata. Jika ada penebangan pohon tinggal dipanggil pemilik chainsaw. Chainsaw siapa yang dipakai,” katanya.

Selain itu, lanjut Dedi, penebangan pohon jenis apapun harus mengantongi izin kades. Sehingga kepala desa bisa menentukan usia dan ketinggian pohon serta kemiringan tanah tempat pohon yang boleh ditebang.

“Sekarang ini tata aturan ini nggak ada. Bebas. Ini untuk pohon-pohon yang di kebun ya, yang dimiliki rakyat. Harus ada izin kepala desa,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, Dedi Mulyadi juga menyindir kegiatan reboisasi, baik yang dilakukan lembaga swasta maupun pemerintah. Sebab, kegiatan penghijauan itu tidak ada artinya jika perambahan hutan baik legal maupun ilegal masih terus terjadi.

Baca Juga:  Bupati Cirebon Ajak Perempuan Berperan Aktif dalam Pembangunan Daerah

Dedi mengatakan, banyak program reboisasi seperti penanaman 1 miliar pohon zaman pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga sekarang. Kemudian di dalamnya ada upacara, pemasangan tenda besar dan lain sebagainya.

“Namun seluruh simbolisasi itu belum tentu melahirkan pohon, karena seringkali pohon-pohon yang ditanam pada kegiatan proyek pemerintah rata-rata berukuran di bawah 1 meter sekitar 40 sampai 50 sentimeter, sehingga rentan mati. Namanya juga pohon proyek,” kata Dedi.

Menurut Dedi, penanaman pohon yang masih usia sangat muda, lalu kegiatannya dilakukan antara April-Mei menjelang musim kemarau, pasti melahirkan kegagalan.

Baca Juga:  Terima Vaksin Covid-19 Moderna, Nakes di Kota Tasikmalaya Bakal Divaksin Dosis Ketiga

“Reboisasi belum tentu melahirkan jutaan hektar tanah kosong yang tertanami. Tapi penambangan hutan yang lebat itu mah pasti, sehingga logika reboisasi tidak akan punya makna apapun jika perambahan hutan terus berlangsung,” kata Dedi.

“Kita tanam 100.000 pohon, belum tentu jadi. Tapi 1 juta pohon yang sudah ratusan tahun tumbuh sudah jelas mati,” katanya.

Dedi mengatakan, jika negeri ini ingin bebas dari bencana banjir dan longsor ke depan, reboisasi harus seiring dengan gerakan penghentian alih fungsi lahan dan perambahan hutan. (Red)