Dedi Mulyadi: Purwakarta Belum Butuh Beras Impor karena Alami Surplus

JABARNEWS | PURWAKARTA – Jumlah hasil produksi padi selama Tahun 2017 di Purwakarta mengalami surplus. Hal ini tercermin dari data yang dilansir oleh Dinas Pangan dan Pertanian setempat.

Dari data tersebut, diketahui indeks penanaman mengalami peningkatan, asalnya satu kali tanam menjadi dua bahkan tiga kali tanam dalam setahun.

Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Purwakarta, Agus Rachlan Suherlan mengatakan Tahun 2017 menjadi tahun berkah bagi Purwakarta.

Pasalnya, tidak ada istilah tidak panen bagi petani di wilayah itu. Bahkan, area sawah yang dipanen per harinya mencapai 30 hektare.

“Ini merupakan hal positif. Setiap hari di Purwakarta selalu ada panen,” ungkap Agus saat dihubungi, Senin (22/01/2018).

Menurut Agus, para petani di Purwakarta menanam area sawah seluas 42.550 hektare selama Tahun 2017. Sebanyak 6,3 ton Gabah Kering Giling (GKG) diperoleh petani dari per hektarenya. Secara keseluruhan, para petani tersebut berhasil memanen padi sebanyak 268.097 ton GKG.

Baca Juga:  KUMHAM Berbagi, Lapas Purwakarta Sebar Paket Sembako untuk Masyarakat

Jumlah tersebut masih harus dikalikan dengan 0,6247 sebagai nilai konstanta konversi Gabah Kering Giling ke beras. Sehingga jumlahnya menjadi 167.480 ton beras. Sedangkan konsumsi beras di Purwakarta mencapai 190 kilogram per kapita per tahun dengan jumlah penduduk mencapai 935 ribu jiwa.

Maka kebutuhan beras di Purwakarta per tahun mencapai 147.150 ton. Dari hasil ini, kabupaten kedua terkecil di Jawa Barat itu mengalami surplus 20.330 ton beras.

“Kita di Purwakarta ada kelebihan beras sebanyak 20.330 ton,” ujarnya.

Karena mengalami surplus, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memandang daerahnya belum membutuhkan beras impor. Terkait wacana kebijakan impor beras Dedi pun menjelaskan solusi lain.

Menurut dia, seluruh stakeholder hanya perlu mengubah regulasi dan pengelolaan distribusi beras tanpa harus melakukan kebijakan impor.

Baca Juga:  Truk Tronton Mogok, Perjalanan KA Terhambat

“Impor beras belum perlu. Selama ada stok di Gudang Bulog dan petani, saya kira tidak perlu impor beras. Ubah saja regulasi dan pengelolaan distribusi,” jelasnya.

Selain itu menurut Dedi, pola pertanian yang berbasis upah berupa uang merupakan fenomena yang terjadi di beberapa wilayah penghasil beras. Hal ini, kata dia, menjadikan harga beras mahal di pasaran.

“Mahalnya beras itu karena terlalu banyak biaya yang tidak perlu. Padi ditanam, dipanen, dan digiling lalu diangkut ke mobil para bandar. Setelah sampai di kota, berasnya dijual lagi ke daerah. Ya, beras jadi mahal,” tegasnya.

Pria yang mengaplikasikan ajaran Marhaenisme Bung Karno di Purwakarta itu pun melihat potensi besar aparat desa untuk didayagunakan. Kata dia, aparat desa harus kembali menjadi juru hitung kebutuhan beras di wilayah kerjanya masing-masing.

Baca Juga:  Banjir Kota Tebing Tinggi Makin Parah, Jalan Sudirman Tidak Dapat Dilalui

Sehingga menurutnya, sebelum warga setempat tercukupi kebutuhan berasnya, beras tersebut tidak boleh dijual di luar daerah.

“Aparat desa kan bisa menjadi juru hitung kebutuhan beras. Setelah itu, dibuatkan lumbung padi untuk daerah tersebut. Sebelum tercukupi, (beras) tidak boleh keluar daerah itu,” ucapnya.

Selain melalui pendekatan birokrasi, Dedi pun memiliki solusi lain yakni melalui pendekatan kultur. Kampung Adat Cipta Gelar dan Kampung Adat Baduy ia katakan dapat menjadi percontohan perwujudan kedaulatan pangan bagi rakyat.

“Baduy punya cadangan pangan selama 150 tahun ke depan. Cipta Gelar punya cadangan pangan selama 50 tahun ke depan. Saya kira, kita harus belajar tentang kedaulatan pangan kepada mereka,” tuturnya. (Red)