Hikmah Peristiwa Nabi Ibrahim AS Dan Nabi Ismail AS

MALAM 10 Dzulhijjah 1439 H, gema takbir berkumandang saling bersahut-sahutan. Dari masjid ke masjid. Syiar keagungan Tuhan menambah syahdu. Di seluruh persada Nusantara, kaum Muslimin bertakbir. Menyuarakan kebesaran Tuhan. Tentu ini sebuah ritual tahunan.

Dan setiap umat pasti mengenal kisah Nabi Ibrahim as bersama Nabi Ismail as, sang putra. Sangat menyentuh dan mungkin untuk manusia biasa tidak mampu menjalani ujian dari Tuhan, yang mengoyak hati dan mematahkan akal sehat. Seorang anak yang didamba-damba kehadirannya mesti dikurbankan. Sang “darah daging” sendiri pun mesti dipasrahkan. Ini bentuk totalitas iman kepada Allah.

Seorang hamba meminta kepada Allah untuk diberi anak dan saat remaja diminta kembali oleh-Nya melalui pengorbanan. Jiwa yang diminta. Tentunya orang yang beriman dan sebagai upaya membuktikan keimanan mesti taat kepada-Nya. Dan ketaatan yang ditunjukkan Nabi Ibrahim as terbukti, sehingga Allah menggantikan “qurban” dengan binatang. Dan sampai kini qurban untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai bentuk ketaatan dilaksanakan dengan menyembelih hewan qurban. Bukan menyembelih manusia, bukan “mengorbankan” manusia supaya menderita. Tetapi yang dipersembahkan kepada Tuhan yang memiliki manfaat bagi manusia lainnya, di antaranya menyembelih binatang yang halal dikonsumsi.

Baca Juga:  Di Kolam Ikan, Ada Jenazah Nenek Mengambang

Dari Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as inilah ibadah qurban berpijak dan selanjutnya menjadi bagian dari ibadah ritual tahunan yang berdampak sosial bagi masyarakat yang membutuhkan daging sebagai makanan lezat. Tidak hanya dari prosesi qurban, bahkan dari distribusi daging pun kalau dihayati ada ibrah pula, yaitu bahwa mengonsumsi makanan atau minuman itu harus yang halal dan berdampak manfaat. Karena itu, seorang Muslim dan Muslimah kala mengonsumsi tidak asal makan dan asal minum. Namun mesti memenuhi syariat dan manfaat positif.

Baca Juga:  Film Sin Kisahkan Hubungan Terlarang Dua Remaja

Peristiwa dalam kitab suci menyebutkan Nabi Ismail as tidak jadi disembelih. Ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia pilihan-Nya. Sehingga yang layak dipersembahkan bukan manusia, tetapi kepasrahan kepada Allah. Yakni menerima kehendak-Nya dengan tanpa mempertanyakannya.

Dari prosesi sembelihan Nabi Ibrahim as, ada ibrah (pelajaran) bahwa ketaatan kepada Allah perlu bukti dan saat menjalankan perintah-Nya harus totalitas. Kecintaan pada anak jangan mengalihkan cinta kepada Allah.

Yang manusia miliki, baik itu harta maupun keluarga atau jabatan, dalam pandangan Tuhan tidak berarti. Yang terpenting adalah ketaatan sebagai bukti keimanan.

Ingatlah peristiwa Iblis kala diusir. Bukan sekadar sombong atau angkuh, tetapi yang menjadi penyebab (tampaknya) adalah menolak perintah Allah. Dengan menolak berarti telah memposisikan diri yang berkehendak. Mungkin Iblis lupa bahwa yang berkehendak atau empunya perintah yang sejati hanya Allah. Karena itu, ketaatan sebagai perwujudan dari iman kepada Allah mesti dibuktikan dan dilaksanakan dengan pasrah, yaitu sepenuh hati dan ikhlas.

Baca Juga:  Indra Sjafri Panggil Tujuh Pemain Timnas Indonesia U-20 untuk SEA Games Kamboja, Ini Daftar Namanya

Demikian sedikit renungan yang bisa diambil dari peristiwa Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Tentu masih banyak hikmah yang bisa diambil dari peristiwa tersebut.

Selamat Idul Adha. Mohon maaf lahir dan batin. Jangan lupa berbagi dengan sesama melalui qurban dan meluangkan waktu untuk berdoa bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Oleh: Dr Joko Trio Suroso (Jokotri)

Penulis adalah dosen dan asisten direktur pascasarjana Universitas Langlangbuana (UNLA) Bandung