Kala Guru Honorer Menjadi Beban APBD

Penulis : Kanti Rahmillah, M.Si (Praktisi Pendidikan)

Potret buram pendidikan Indonesia, belum juga menemui akhirnya. Padahal, pendidikan adalah satu pondasi dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Masa depan Indonesia berangkat dari tata kelola pendidikan yang baik, sehingga akan melahirkan generasi yang siap memajukan bangsa. Termasuk tenaga pendidik yang sangat berpengaruh terhadap kualitas peserta didik.

Dilansir dari detik.com, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Tjahjo Kumolo menjelaskan bahwa anggaran pemerintah pusat terbebani oleh kehadiran tenaga honorer. Pasalnya, Pemerintah Daerah dengan PAD (Penghasilan Asli Daerah) yang rendah, kerap meminta pusat untuk memenuhi gaji tenaga honorer di daerahnya.

“Kalau daerah masih menggunakan honorer silakan, tapi pakai dana APBD, jangan pakai pusat. Semuanya harus jelas anggarannya,” kata Tjahjo (detik.com, 25/01)

Sejalan dengan pusat, Bupati Purwakarta, Ane Ratna Mustika menyetujui kebijakan pemerintah pusat perihal penghapusan tenaga honorer dan sejenisnya. Alasanya, karena THL (Tenaga Harian Lepas) membebani APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).

“Biaya upah kerja THL pada 2019 saja mencapai Rp26 miliar, memang cukup menyedot APBD,” ujar Anne. (ayobandung.com, 31/01)

Wacana tenaga honorer, khususnya guru honorer sebagai beban APBN dan APBD terus digulirkan, hingga menghilangkan fakta bahwa sejatinya guru honorer pun turut berkontribusi dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di negeri ini.

Baca Juga:  Kemenag Laporkan 41 Jemaah Haji Meninggal di Tanah Suci

Meraka rela digaji tak layak, demi mengabdi pada bangsa, tentu dengan harapan status mereka berganti menjadi PNS. Ditengah gelombang PHK besar-besaran yang memperburuk angka pengangguran, kini guru honorer pun harus menelan pil pahit dengan pelabelan “beban APBD”.

Satu sisi lain, ada pembiayaan daerah yang tak urgen dalam kaitannya dengan kemaslahatan umat. Sebut saja pembanguna Masjid Tajug Gede dan Taman Air mancur Welas Asih yang menelan anggaran cukup fantastik untuk sebuah Masjid dan taman air mancur. Setelah 3 Milyar digelontorkan oleh Pemda, APBD pun akan menganggarkan 10 Milyar kembali untuk penyelesaiannya. Karena hingga kini pembangunannya belum 100 persen selesai.

“Tahun depan, kita anggarkan Rp 10 miliar. Kita ingin, masjid ini memiliki fasilitas yang komplit,” ujar Aming, wakil Bupati Purwakarta usai melaksanakan shalat Jumat di Tajug Gede Cilodong, Jumat (21/12). (republika.com, 23/02)

Bukan masjidnya yang tidak bermaslahat, namun urgensitas masjid, taman dan fasilitas olahraga nya yang dinilai kurang dalam prioritas. Sungguh disayangkan, 26 Milyar untuk menggaji THL dijadikan beban, namun pembangunan taman hiburan terus dilakukan, wajar banyak pengamat yang mengatakan bahwa pengelolaan APBD kurang dalam berempati.

Baca Juga:  Gempa Guncang Kota Tual Maluku, Tak Berpotensi Tsunami

APBN dan APBD sama –sama menjadikan guru honorer sebagai beban. Hal demikian menegaskan pada kita terkait cara pandang pemerintah terhadap rakyat yang hanya dipandang secara ekonomis (menghitung untung rugi) wajar akhirnya, penguasa menjadikan rakyat sebagai beban.

Inilah cara pandang sistem negara yang kapitalistik. Hubungan rakyat dan penguasa sebatas untung dan rugi. Bertolak belakang dengan sistem pemerintahan Islam yang menjadikan rakyat adalah tuan yang harus dilayani oleh penguasa. Karena hakekat penguasa adalah pelayan umat. Sebaik-baik pelayan adalah dia yang meemenuhi seluruh kebutuhan tuannya.

Allah Swt. telah mengharamkan seorang pemimpin masuk surga, jika kebijakannya mendzolimi rakyat. Karena sesungguhnya, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan terhadap umatnya.

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).

Sebenarnya, Islam tak mengenal THL ataupun guru honorer. Karena perekrutan ASN akan sesuai dengan kebutuhan. Artinya, jika kebutuhan guru 1000 orang, maka negara akan merekrut 1000 orang guru yang akan dijadikan pegawai abdi negara. Berarti disini, dibutuhkan pendataan yang akurat.

Adapun gaji yang diberikan, tentu jauh berbeda dengan sistem penggajian di negara kapitalistik yang sangat minim. Dalam Islam, sistem penggajian sesuai dengan jenis pekerjaanya. Missal saja di masa Khalifah Umar bin Khatab, gaji seorang pengajar adalah 15 dinar per bulannya. Jika dikonversi kedalam rupiah saat ini sekitar 33 juta. Bandingkan dengan negeri ini yang memberikan gaji pada guru honorer hanya 300ribu rupiah, dan itu dianggap membebani APBD.

Baca Juga:  Wagub Jabar Tutup Galian Tanah Di Bekasi, Ini Alasannya

Mengapa Islam menggaji guru dengan begitu besar? Selain karena penghormatan terhadap seorang guru sebagai pendidik umat, APBN negara dengan tata kelola Islam akan sangat memprioritaskan kebutuhan umat, pendidikan salah satunya. Begitupun sumber pemasukan APBN bukan dari pajak, tapi bertumpu pada pengelolaan sumber daya alam. Islam mengharamkan privatisasi SDA yang melimpah yang tidak dikenal di sistem kapitalis ini.

Sehingga, untuk menyelesaikan masalah pendidikan, bukan hanya mengotak-ngatik urusan gaji, namun harus juga membenahi permasalahan yang lainnya. Karena gaji guru sebesar 33 juta dalam sistem sekarang, sungguh mustahil. Selain APBN tak akan mampu memenuhinya, sumber daya alam pun dikuasai asing. Oleh karena itu, dibutuhkan tata kelola pemerintahan yang seluruhnya pro pada umat dan membingkai seluruh kebijakannya dengan syariat Allah Swt. (*)

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.