Simak, Ini Mitos Tentang Keberaksaraan Orang Jawa

JABARNEWS | BANDUNG – Mitos adalah salah satu unsur budaya yang universal. Ada sangat beragam isi cerita mitos. Dari mitos terciptanya alam semesta dan kemunculan manusia, dewa-dewa, atau bahkan hantu-hantu, hingga mitos terbentuknya sungai, danau, gunung, dan lain sebagainya.

Sekalipun bersifat universal, di antara beragam topik itu ternyata terdapat mitos tertentu yang relatif jarang ditemui di tengah masyarakat. Alias, tak semua masyarakat di dunia memiliki narasi mitos ini. Salah satunya ialah mitos keberaksaraan. Topik mitos ini bercerita tentang asal-usul lahirnya aksara atau budaya literasi dalam sebuah masyarakat.

Sementara itu bicara budaya keberaksaraan atau tradisi literasi sendiri, jelas sering disebut sebagai ciri-ciri atau pattern dari fase peradaban (civilization) dalam sejarah masyarakat manusia.

Indonesia, khususnya orang Jawa, bisa dikatakan cukup beruntung karena memiliki mitos keberaksaraan itu. Demikianlah, catatan Heddy Shri Ahimsa-Putra (2016) dalam artikel Ha-Na-Ca-Ra-Ka Aji Saka, Mitos Keberaksaraan, Mitos Peradaban.

Tentu sudah banyak tafsiran seputar mitos Aji Saka. Ahimsa bisa jadi juga tidak memberikan pembacaan dan tafsiran baru, namun ia setidaknya menawarkan piranti baru untuk mendekati mitos sebagai kajian antropologi. Melalui pendekatan strukturalisme, plus mendekati pada bagian-bagian atau unsur-unsur pembentuk dari keseluruhan narasi legenda Aji Saka, Ahimsa membangun kerangka tafsirannya melalui paradigma evolusi kebudayaan rumusan EB Tylor.

Ada dua versi mitos sebagai materi analisisnya. Oleh Ahimsa, narasi Aji Saka ini dibagi menjadi tiga episode. Pertama, episode Aji Saka mengembara. Kedua, episode Aji Saka mengalahkan raja zalim dan kemudian mengutus abdinya mengambil pusaka. Dan terakhir atau ketiga, episode Aji Saka menuliskan kisah tragis kedua abdinya yang setia itu, Dora dan Sembada.

Dari sana ia kemudian mengikuti paradigma evolusi kebudayaan EB Tylor, yaitu savageri, barbarism, dan civilization, dan memaparkan tahap-tahap evolusi kebudayaan di Jawa, yang langsung atau tidak, terdokumentasikan dalam narasi mitos Aji Saka tersebut.

Tiga Fase Evolusi

Tahap ‘savagery’ ditandai oleh kehidupan yang nomaden, masih berpindah-pindah tempat. Manusia belum mengenal bercocok tanam. Manusia pun belum sanggup mendomestifikasi binatang, sehingga juga belum dikenal peternakan maupun penggembalaan. Kehidupan manusia saat itu masih ditandai oleh aktivitas berburu, meramu, dan mengumpulkan makanan.

Baca Juga:  Berikut Data Korban Kecelakaan Maut di Tol Cipularang

Fase ‘savagery’ ini direpresentasikan oleh episode pengembaraan Aji Saka, bersama dua abdinya, Dora dan Sembada. Konon, mereka berasal dari negeri antah berantah atau negeri atas angin. Sengaja pergi mengembara hingga kemudian Aji Saka tiba menginjakan kakinya di Tanah Jawa.

Episode berikutnya adalah episode Aji Saka mengalahkan raja zalim. Oleh Ahimsa, fase ini ditafsirkan sebagai simbolisasi evolusi budaya masyarakat Jawa menuju tahap berikutnya, yaitu fase ‘barbarism’.

Sebagaimana dikatakan Tylor, pada tahap ‘barbarism’ ini masyarakat manusia sudah mulai hidup dengan cara menetap. Kehidupan mereka mulai mengenal seni bercocok tanam dan juga beternak. Pada fase ini memungkinkan masyarakat manusia membangun sebuah organisasi sosial yang berbeda corak dan karakteristiknya dengan saat kehidupan mereka masih bersifat nomad.

Ya, dikisahkan sang raja raksasa yang dikalahkan oleh Aji Saka ini, laksana sosok Leviathan bagi bangsa Eropa. Raja raksasa bernama Dewatacengkar, bukan hanya dilukiskan sebagai penguasa zalim, dia juga mau memangsa rakyatnya sendiri (kanibal).

Merujuk buku Makna Simbolik Legenda Aji Saka karya Slamet Riyadi (2007), disebutkan bahwa perilaku Leviathan asal Medhangkamulan ini memang telah disimbolkan oleh namanya sendiri, Dewatacengkar. Dewata memiliki sinonim arti dengan kata “dewa”. Artinya ‘penguasa alam’. Sedangkan “cengkar” artinya ‘tandus’ yang mengakibatkan ‘kemiskinan’.

Lebih jauh, menurut Riyadi, nama Dewatacengkar menyimbolkan ‘penguasa yang miskin budaya’, di mana bisa berarti juga sebagai ‘kebodohan’ atau ‘keterbelakangan’ .

Wajar saja, jika personifikasi Dewatacengkar lantas muncul dalam rupa sosok raksasa. Ini tentu saja tak terlepas dari kontruksi dunia wayang dalam budaya Jawa. Raksasa selalu diidentikkan sebagai simbol kekejaman, keserakahan, kebiadaban, dan keangkaramurkaan. Singkat kata, raksasa selalu menjadi simbol segala keburukan dan bukan simbol kemanusiaan dan keadaban.

Di sini menarik dicatat ialah bagaimana cara Aji Saka mengalahkan sang raja zalim itu. Melalui ikat kepala Aji Saka, yang konon dikisahkan bisa melebar dan memanjang, sehingga kemudian mendesak sang raja raksasa itu hingga terlempar jatuh ke laut. Raja raksasa itu berubah jadi buaya putih dan pada akhirnya mati.

Baca Juga:  Wawalkot Bandung: Wahana Wisata Edukasi Hadirkan Pendidikan Berkualitas

Ikat kepala Aji Saka, lagi-lagi seturut Ahimsa, jelas bisa dilihat sebagai simbolisasi dari kekuatan akal-budi dan pikiran manusia. Melalui akal budi dan pikiran yaitu produk khazanah ilmu pengetahuan dan kebijakan inilah, Aji Saka akhirnya berhasil mengalahkan dan menyingkirkan raja zalim. Peristiwa ini juga dapat dimaknai sebagai simbolisasi kemenangan kearifan atas kebodohan, pengetahuan atas prasangka, kebajikan atas kekejaman, kebaikan atas keburukan.

Kembali pada teks mitos. Pascamatinya Dewatacengkar maka dikisahkan Aji Saka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan. Syarat menjadi raja ialah dimilikinya sebuah pusaka.

Ya, seperti diketahui dalam tradisi raja-raja di Nusantara, pusaka ialah salah satu atribut penting seorang penguasa, terlebih bagi raja. Aji Saka sudah memiliki pusaka itu. Hanya saja pusaka itu masih disimpan di Pulau Majeti, dibawa oleh salah satu abdinya bernama Sembada.

Maka disuruhlah abdi satunya, yaitu Dora, mengambil pusaka tersebut. Aji Saka lupa akan pesannya kepada Sembada dahulu, bahwa abdinya yang ditinggal di Pulau Majeti pernah dilarang memberikan pusaka itu kepada siapapun, kecuali kepada Aji Saka sendiri.

Walhasil, kelalaian Aji Saka membuat mereka saling bertikai. Itulah yang terjadi pada Dora dan Sembada. Masing-masing merasa benar dan bersetia menjalankan perintah tuannya. Kelalaian ini membuat mereka yang selama ini dikenal sangat setia pada Aji Saka menjadi saling bertikai dan membunuh. Kedua abdi setianya ini sama-sama berakhir jadi mayat, mati sampyuh ‘mati bersama’ jadi “bathanga”.

Menyesali dan merefleksikan momentum itu, Aji Saka menuliskan kisah perselisihan dua abdi setianya itu. Menariknya, kalimat-kalimat yang ditulis bukan hanya menyajikan kisah peristiwa tragis itu, tetapi juga sekaligus merupakan gabungan dari suku-suku kata pada aksara bahasa Jawa.

Baca Juga:  SBY Temui Presiden Jokowi di Istana Bogor, Ada Apa?

Ha-Na-Ca-Ra-Ka (Ada utusan), Da-Ta-Sa-Wa-La (Saling berselisih pendapat), Pa-Dha-Ja-Ya-Nya (Sama-sama sakti), Ma-Ga-Ba-Tha-Nga (Sama-sama menjadi mayat)

Sekalipun kisah ini hanya termuat dalam satu versi dari dua versi mitos Aji Saka yang ditelitinya, bagi Ahimsa episode di mana Aji Saka menuliskan kisah perselisihan dua abdinya itu merupakan bagian yang teramat penting dari legenda tersebut. Mengikuti paradigma evolusi kebudayaan dari EB Tylor, menurut Ahimsa, episode ini merepresentasikan tahap ‘civilization’ dalam kebudayaan Jawa, di mana salah satu ciri utamanya ialah dikenalnya budaya tulisan.

Bagi Ahimsa, susunan kata, kalimat dan kisah yang terkandung dalam aksara Jawa “Ha-Na-Ca-Ra-Ka” ialah sebuah kreasi yang sangat cerdas dan istimewa. Pasalnya sejauh pemahaman Ahimsa, tidak ada hafalan aksara atau abjad yang dapat membentuk kalimat dan juga sekaligus menjadi sebuah mitos sebagaimana aksara Jawa.

Benar, bahwa aksara a-b-c-d-e… dan seterusnya, di Barat sana telah disusun menjadi sebuah lagu supaya menjadi mudah dihapal. Tapi di sana tidak dikenal mitos sebagai pengisi cerita dari aksara alpabet tersebut. Tak kecuali bahasa Arab. Masih merujuk Ahimsa, disebutkan dalam aksara bahasa Arab itu sama sekali tidak dibuat menjadi lagu maupun cerita.

Lain dengan Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Selain diajarkan untuk menghapal urutan aksara dalam pembelajaran membaca dan menulis bahasa Jawa, dalam Ha-Na-Ca-Ra-Ka sekaligus juga disampaikan sebuah pesan cerita melalui mitos.

Ya, itulah legenda Aji Saka. Sebuah mitos yang tidak saja bertutur tentang sejarah mulai dikenalnya aksara atau tulisan bagi orang Jawa, melainkan juga menjadi momen penanda penting tentang signifikansi sebuah tradisi literasi dalam kebudayaan Jawa.

Jadi, sekiranya kini kebudayaan Jawa nisbi lebih dikenal sebagai budaya keberlisanan daripada keberaksaraan, maka di sini secara hipotesis patut ditanyakan, “Apakah pernah terjadi momen peristiwa tertentu dalam sejarah evolusi kebudayaan Jawa yang telah mengubah kembali arah sejarah peradaban orang Jawa? Mengubah kembali dari tradisi keberaksaraan menuju keberlisanan”. Benarkah demikian? Substansi ini patut diteliti tersendiri. (Red)