Batu Gilang Penanda Kiblat

JABARNEWS | CIREBON – Cirebon jadi salah satu destinasi wisata religi Ramadan di Jawa Barat. Selain Makam Sunan Gunungjati, ada juga Museum Keraton Kasepuhan yang punya batu penanda kiblat.

Sejarah keraton di Cirebon berkaitan dengan proses syiar Islam di tanah Jawa. Sekitar abad ke-15, Sunan Gunungjati menggunakan batu untuk menandai arah kiblat.

Adanya penanda kiblat itu bertujuan untuk memudahkan masyarakat yang ingin salat, tanpa harus kebingungan mencari arah kiblat. Salah satu peninggalannya adalah Batu Gilang.

Batu Gilang ini berada di Museum Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, Jawa Barat. Lokasinya berada di sudut ruangan, berdekatan dengan peralatan gamelan. Cukup mudah menemukannya.

Baca Juga:  Herdiat Sunarya Sebut Keuangan Ciamis Masih Tergantung Pemerintah Pusat dan Pemprov

Batu ini berbentuk balok persegi panjang dengan panjang sekitar dua meter dan lebar 80 sentimeter itu menghadap ke arah Barat-Timur. Namun, bagian ujung batu yang mengarah ke Barat lebih runcing dibandingkan arah Timur.

Wakil Kepala Bagian Benda dan Bangunan Cagar Budaya Keraton Kasepuhan, Raden Muhammad Hafidz Permadi, mengatakan bagian yang runcing itu merupakan penanda arah kiblat.

Baca Juga:  Buron 2 tahun, Pria Beristri yang Cabuli Pacar di Deli Serdang Ditangkap Polisi

Batu gilang, lanjut Hafidz, menjadi patokan arah kiblat di keluarga Keraton Pakungwati dan masyarakat sekitar.

“Ini sudah ada sejak zaman Keraton Pakungwati. Sebagai patokan arah kiblat, dulu kan tidak ada kompas dan sebagainya,” kata Hafidz dilansir dari detik.com, Kamis (24/5/2018).

Hafidz mengatakan, posisi batu tak pernah diubah sejak zaman dulu. Pihak keraton, lanjut dia, sengaja membangun museum baru dengan memasukan batu gilang ke dalam koleksi museum tersebut tanpa menggeser posisi batu.

“Dulu posisinya di luar, ya tetap dirawat dibersihkan. Terus pas bangun museum baru ini diusulkan untuk masuk ke dalam ruangan,” katanya.

Baca Juga:  Pemprov Jabar Siap Manfaatkan E-Marketplace

Ia mengatakan, sebelumnya batu gilang sempat menjadi benda yang digandrungi para pengunjung atau peziarah yang datang ke Keraton Kasepuhan. Menurut Hafidz, sebagian masyarakat ada yang menyakini bahwa yang bisa memberi hidayah.

“Kita tidak menganjurkan seperti itu. Yang seperti itu yang bahaya. Dulu memang banyak yang ngukur pakai jengkal tangan, kalau pas katanya bisa dikabulkan keinginannya. Sekarang sudah tidak,” kata Hafidz. (Yfi)

Jabarnews | Berita Jawa Barat