Amanat Sunan Gunung Jati, Alasan Dedi Mulyadi Blusukan Sejak 1999

JABARNEWS | PURWAKARTA – Calon Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi hadir dalam kegiatan ‘Nada dan Dakwah’ yang digelar warga Desa Citalang, Tegalwaru, Purwakarta.

Dedi Mulyadi saat berada diatas panggung saat dalam kegiatan ‘Nada dan Dakwah’ (Foto: red)

Wilayah tersebut merupakan salah satu bagian dari daerah pemilihan Dedi Mulyadi saat mencalonkan diri sebagai Anggota DPRD Purwakarta Tahun 1999. Kecamatan Plered, Tegalwaru dan Maniis adalah daerah binaan kader terbaik Nahdlatul Ulama Purwakarta tersebut saat itu.

“Saya tidak akan pernah melupakan daerah ini, karena dari sinilah saya berangkat. Saya berhasil menjadi Anggota DPRD Purwakarta karena suara masyarakat daerah ini. Satu kali menjadi Wakil Bupati Purwakarta. Saya dua kali menjadi Bupati Purwakarta pun karena dukungan masyarakat,” ujar Dedi.

Baca Juga:  Sudah Diblokir, Akun Gay Di Garut Malah Makin Bermunculan

Di daerah yang terkenal sebagai basis massa religius ini pula, Dedi mencetuskan program ‘Gempungan di Buruan Urang Lembur’. Sebuah program yang belakangan dikenal dengan istilah ‘Blusukan’.

“Tokoh di sini, Pak Haji Sobari dulu selalu mendampingi saya menginap di tajug (mesjid kecil) dan rumah warga. Saya mendengarkan keluhan dan aspirasi mereka semalaman, sambil mengobrol dan ngopi,” lanjutnya.

Dedi mengatakan, sebagai kader Nahdlatul Ulama, drinya terinspirasi untuk melakukan ‘blusukan’ karena amanat Sunan Gunung Jati. Dalam sabdanya jelang wafat, sunan yang bernama asli Syarif Hidayatullah itu mengamanatkan agar umat memperhatikan mesjid dan fakir miskin.

Baca Juga:  Kebakaran Pabrik Lilin di Garut, Seorang Pekerja Tewas Terjebak Api

“Kanjeng Sunan Gunung Jati sebelum wafat mengatakan, titip tajug (mesjid kecil) dan fakir miskin. Maka pola saya dulu bukan pidato, tapi langsung bekerja. Sehingga, keluhan masyarakat miskin terjawab saat itu juga,” ujar Dedi.

Melalui cara ini, kadar religiusitas sebuah daerah dapat terukur secara objektif. Penyediaan pelayanan prima dari pelayanan masyarakat untuk warga merupakan ukuran religiusitas itu sendiri.

“Karena kepemimpinan itu amanah, seorang pemimpin harus bekerja untuk melayani. Misalnya, aparat desa di sini mengantarkan warga yang sakit ke rumah sakit, tanpa memungut biaya karena sudah dibayar oleh Negara. Itulah sejatinya religius,” tegasnya.

Baca Juga:  Kunjungi Batam, Sandiaga Uno Tinjau Protokol Kesehatan dan Pariwisata

Kondisi daerah yang bersih dan tertata masih menurut Dedi, menjadi salah satu indikator religiusitas. Pasalnya, tidak ada satu Agama pun yang ajarannya mengabaikan kebersihan dan keindahan.

“Jadi, masyarakat yang teratur itu ya masyarakat religius. Masyarakat yang lingkungannya bersih itu adalah masyarakat religius, masyarakat yang kampung dan kotanya tertata dengan baik itu masyarakat religius,” pungkasnya. (*)

Jabarnews | Berita Jawa Barat