Mengantisipasi New Normal Dengan Modal Sosial

Penulis: Habibah Auni (Mahasiswa Teknik Fisika UGM)

New normal atau kenormalan baru, menjadi perbincangan panas yang terus bergulir di ruang publik. Sebab, masyarakat akhirnya akan bertransisi ke yang kehidupan baru. Suatu fase dimana masyarakat dapat kembali berpetualang dan berkegiatan di alam bebas.

Tentu saja ini merupakan kabar gembira bagi seluruh lapisan masyarakat. Orang tua dapat bekerja lagi untuk menafkahi keluarganya. Perusahaan dan UMKM memperoleh kesempatan untuk menggelar bisnisnya. Mahasiswa bisa melanjutkan tugas akhirnya, yang mengharuskan dirinya mengambil data di lapangan. Anak-anak bisa berjumpa dengan teman-temannya di sekolah.

Saking memilaukannya gambaran tentang kehidupan baru ini, sampai-sampai membuat banyak orang tidak percaya. Bahkan, mereka cenderung memilih untuk mengambil keputusan secara hati-hati. Misalnya dengan tetap merumahkan diri di rumah. Karena kekhawatiran akan kemunculan gelombang baru virus Covid-19 terus melanda di pikiran.

Tidak hanya itu saja, new normal juga menimbulkan gelombang baru di sektor kehidupan lainnya, yang tak lain adalah sektor sosial. Dengan diterapkannya physical distancing, komunikasi dilakukan serba daring di era new normal. Alhasil, akan tercipta gelombang baru pekerjaan, yang tidak semua masyarakat bisa beradapatasi dengannya.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018, terdapat 171,17 juta penduduk Indonesia yang sudah memperoleh akses internet, dari total populasi penduduk sebanyak 264,16 juta orang. Jumlah yang setara dengan 64.8% pun masih didominasi oleh Pulau Jawa. Sisanya sebanyak 35.2%, bukan pengguna internet, adalah penduduk di wilayah rural.

Baca Juga:  Gerimis Tak Halangi Menonton Sepak Bola Wanita di Warjam

Akibatnya, permasalahan akses internet ini akan menimbulkan kesenjangan sosial. Bagi mereka yang mempunyai sarana internet yang memadai, tentu new normal bukan masalah besar. Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang kesulitan mengakses internet? Atau bahkan tidak memiliki fasilitas daring sama sekali? Orang-orang tersebut, belum bisa dipastikan apakah mampu beradaptasi dengan kehidupan baru yang serba digital atau tidak. Otomatis, sekelompok orang ini akan tertinggal pendapatan ekonominya, lantaran pekerjaan menggunakan teknologi digital.

Perihal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial, lantaran ketidakadilan yang dirasakan sekelompok masyarakat yang tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan baru. Kecemburuan yang tidak segera ditangani ini, selanjutnya akan memicu terjadinya konflik sosial dan hilangnya trust (kepercayaan) terhadap negara. Malahan kemungkinan terburuknya, persatuan Indonesia sewaktu-waktu akan roboh begitu saja. Apalagi di tengah pandemi ini, konflik berpeluang akan terus ada hingga vaksin ditemukan.

Akan sangat banyak keributan-keributan yang seharusnya tidak perlu dipertahankan. Saling menyalahkan satu sama lain. Mempertahankan ego dan abadi bersilang pendapat. Namun, bukan berarti mencari pihak yang bertanggung jawab, lalu pandemi ini selesai. Justru sebaliknya, tingkah laku ini malah kontraproduktif dan membuang banyak waktu. Oleh karena itu, masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya bersatu dan bekerja sama dalam menghadapi new normal. Semua pihak tanpa terkecuali, sepatutnya saling bahu-membahu dalam mengeluarkan Indonesia dari krisis kesehatan, krisis ekonomi, dan krisis kesehatan.

Baca Juga:  Peringati Tragedi Wasior Berdarah, Mahasiswa Papua Lakukan Aksi Bisu di Gedung Sate

Indonesia patut bangga dengan kapasitas sosial yang dimilikinya. Mengutip Legatum Prosperity Index, Indonesia pada tahun 2019 menduduki peringkat kelima dunia dari sisi kekuatan modal sosialnya. Selain itu berdasarkan survei Charities Aid Foundation, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang giving index-nya terus bertumbuh selama 10 tahun terakhir. Artinya, modal sosial dapat mengeluarkan negeri ini dari berbagai krisis imbas new normal. Dengan demikian, segenap bangsa harus mengupayakan adanya new normal modal sosial, agar nantinya dapat kompatibel dengan sejumlah masalah yang diakibatkan new normal.

Memanfaatkan Modal Sosial – Sebelumnya, modal sosial adalah suatu kondisi dimana komunitas mempunyai solidaritas yang kuat dan identitas yang terpelihara. Adapun elemen-elemen yang menunjukkan adanya modal sosial adalah: (1) trust, (2) kohesivitas, (3) altruisme, (4) gotong royong, (5) jejaring, dan (6) kerja sama. Dengan demikian, nusantara dapat mengaplikasikan elemen-elemen modal sosial dalam kehidupan nyata.

Baca Juga:  Inilah Kejanggalan Dalam Foto Papa Setnov Saat Dirawat

Pemerintah dan masyarakat menjaga rasa trust satu sama lain. Pemerintah sepatutnya menjelaskan terminologi new normal secara gamblang kepada seluruh anggota masyarakat. Menjabarkan apa saja yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilanggar selama new normal. Dan bagaimana tata cata menerapkan protokol kesehatan di kala new normal.

Selain itu, pemerintah sepatutnya mengupayakan agar seluruh masyarakat mampu beradaptasi dengan new normal. Dalam hal ini, pemerintah pusat bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah hingga tingkatan RT/RW. Gerakan dimulai dari akar rumput (RT/RW atau Desa), dimana berfokus kepada pemetaan kapasitas teknologi lokal.

Selanjutnya, pemerintah daerah memetakan kapasitas teknologi dalam ruang lingkup yang lebih luas. Misalnya dengan memberi tanda daerah mana yang zona teknologi memadai, zona dengan teknologi madya, dan zona merah teknologi. Kemudian pemerintah daerah menyampaikan perihal kemampuan digital kepada pemerintah pusat.

Setelah terhubung dengan pemerintah, nantinya new normal akan diformulasi ulang agar bersifat fleksibel dan inklusif. Budaya kehidupan baru, indikator protokol kesehatan, dan pekerjaan tiap anggota masyarakat, bakal disesuaikan dengan kapabilitas kearifan lokal. (*)

Tulisan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya penulis.