Dia kemudian diminta membuat pertemanan dengan calon-calon korbannya melalui media sosial Facebook, Twitter, Instagram, hingga aplikasi kencan.
Targetnya adalah perempuan-perempuan di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Vietnam.
Pada masa-masa awal itu, Rendi belum diberi target. Namun dari cerita orang-orang yang juga dipekerjakan di situ, dia mengetahui bahwa setiap tim yang terdiri dari enam hingga tujuh orang ditargetkan mendapatkan USD35.000 (Rp520 juta) per bulan.
Rendi diminta untuk mendekati orang-orang yang potensial mencari korbannya dengan membangun pertemanan. Dia harus mencari tahu keseharian hingga pekerjaan korban, bahkan membangun hubungan asmara dengan calon korbannya. Untuk meyakinkan para korban bahwa pelaku ini “nyata”, perusahaan pun bersedia memodali.
“Misalnya kalau dia minta sampai kirim bunga, kalau memang dia potensinya besar, itu akan dikirim. Bos enggak masalah. Apalagi kalau [korban] sudah investasi,” ujar Rendi.
Apabila target sebesar USD35.000 sudah tercapai, maka mereka pun akan memutuskan komunikasi dan menghilang dari korban. Uang itu didapat dengan menjebak korban menyetorkan uang untuk investasi bodong, menjual tiket palsu pertandingan Piala Dunia Qatar, atau belanja online di platform e-commerce palsu tanpa pernah mengirimkan barangnya. (red)