Satya Cipta bercerita, pengalaman hidup perempuan Bali sangat menyakitkan, karena sistem budaya Bali memposisikan perempuan. Persoalan serupa juga ditemukan di kebudayaa lain di Nusantara melalui pengamatan langsung Satya Cipta selama proses berkarya.
“Melukis sebagai cara saya untuk bertahan sebagai perempuan Bali. Saya ingin mendobrak norma yang diterapkan oleh budaya Bali kepada perempuan Bali yang dibuat oleh sistem partriarki, demikian halnya dengan perempuan di kebudayaan Nusantara lainya,” kata Satya Cipta kepada wartawan di Lawangwangi Creative Space, Bandung, Sabtu (11/10/2023).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, semua pemikirannya itu terjadi karena pengalaman sebagai seorang perempuan yang dialami dan rasakannya sebagai sebuah intuisi. Kemudian Satya Cipta melakukan observasi dan investigasi karena rasa keingintahuannya terhadap kondisi sosio-kultural yang terjadi dengan dicurahkannya lewah lukisan.
“Melukis satu-satunya jalan melakukan itu sendiri. Saya di Bali belajar sendiri sambil menahan kesedihan. Saya ingin mendobrak norma yang berkembang di masyarakat harus lurus dan sejajar dengan nilai dahulu. Saya melihat ada satu sirkel yang sulit diputus karena ada tekanan sosial,” jelasnya.
“Saya jadi tahu posisi saya dan saya jadi tahu peradaban manusia disini yang berkembang. Sampai saya sampai akhirnya menemukan mitos-mitos,” tambahnya.