Tak hanya itu saja, anggota DPRD juga telah menyiapkan pengusaha sendiri untuk mengerjakan satu proyek tersebut. akibatnya para pengusaha lokal ini tak bisa ikut bersaing untuk mendapatkan pekerjaan meski mereka telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Adang menyebut usulan Pokir dari DPRD memang diperbolehkan secara regulasi. Tujuannya untuk mewadahi aspirasi masyarakat yang tidak tercover oleh mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Namun, usulan Pokir dari DPRD hanya sebatas program saja tak mesti harus masuk hingga tataran teknis bahkan menyiapkan pengusaha.
“Saya tau kalau Pokir itu diatur undang-undang. Tapi di KBB praktiknya kan malah membunuh para pengusaha lokal yang punya integritas dan rekam jejak pekerjaan. Sementara mereka cuma bawa pengusaha asal, bahkan cuma pinjem CV dari toko bangunan,” katanya.
Menurutnya, jumlah Pokir DPRD di lingkungan Pemda Bandung Barat bervariasi, tergantung jenis OPD dan besaran anggarannya. Adang menduga di salah satu dinas hingga ratusan paket dikuasai Pokir DPRD. Jadi Pokir DPRD ini tak hanya berbentuk pengadaan barang dan jasa, bisa pula berupa pelatihan bahkan bimtek di satu dinas.
“Kalau gini yang terjadi bukan hanya pengusaha yang rugi. Tapi juga sistem demokrasi kita terancam. Mestinya fungsi DPRD itu mengawasi sekarang justru masuk ke ranah eksekusi melalui Pokir,” katanya. (Red)