JABARNEWS | BANDUNG- Pepatah filosopis Sunda yang berbunyi moal aya kiwari lamun teu aya bihari, yang artinya tidak akan ada masa kini kalau tidak ada masa lalu berkolerasi dengan sejarah suatu bangsa atau wilayah.
Pepatah tersebut secara inklusif mendeskripsikan bahwa entitas sebuah bangsa dengan segala tatanan yang dimiliki hari ini, tidak lepas dari segala upaya yang telah dirintis oleh para pendahulu atau the founding fathers.
Terlebih lagi dengan adanya keberadaan nama yang hari ini melekat dengan segala atribut dan identitas suatu wilayah beserta masyarakat nya.
Nama adalah sebuah doa yang dimunajatkan oleh sang inisiatornya kepada sang maha pemilik kehidupan, agar pihak yang menyandang nama tersebut sepanjang eksistensinya dirahmati dengan segala kebaikan dari sang maha kuasa. Seperti halnya para orang tua menamai anak- anak nya dengan didasari harapan agar sang anak senantiasa dirahmati di sepanjang hidupnya.
Begitu pun nama Purwakarta, terlahir dari seorang pemimpin sekaligus pemuka agama, yang disetiap waktunya terpanjat doa yang khusyuk agar kota yang didirikannya ini senantiasa dirahmati oleh yang maha kuasa, dijauhkan dari segala marabahaya.